Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
SUPERBALL.ID - Supermodel Mariangela Presicce menentang seksisme dalam olahraga dan mode, serta menganjurkan perubahan.
Melampaui kemewahan dan glamor dunia fesyen, Mariangela Presicce berdiri sebagai mercusuar ketahanan dan pemberdayaan di lapangan sepak bola.
Di usianya yang baru 20 tahun, pemenang kontes kecantikan dan fashion show reguler ini juga telah mengukir prestasi di dunia sepak bola.
Ia menjadi salah satu dari sedikit wasit wanita di daerah asalnya dekat Lecce, Italia.
Meskipun mendapat perlakuan kasar dari tribune penonton, kecintaan Presicce pada olahraga ini, yang diwarisi dari ayahnya, seorang pelatih sepak bola, mengobarkan tekadnya untuk mengatasi prasangka dan seksisme dalam olahraga tersebut.
Perjalanan Presicce dalam dunia sepak bola dimulai lima tahun lalu.
Sejak saat itu, identitas gandanya sebagai model dan wasit telah menantang norma dan stereotipe masyarakat.
Baca Juga: Intip Berapa Besar Gaji Wasit yang Pimpin Pertandingan Liga Champions?
Penampilannya dalam seragam resmi wasit di sebuah peragaan busana, di mana ia secara simbolis memberikan kartu merah kepada seksisme, menegaskan komitmennya untuk memerangi bias gender dalam sepak bola.
Tindakan ini tidak hanya menyoroti wajah buruk seksisme dalam olahraga tetapi juga menunjukkan tekad Presicce menggunakan platformnya untuk mendukung perubahan.
Meskipun terdapat kemajuan menuju kesetaraan gender, pengalaman Presicce di lapangan mengungkapkan kenyataan yang berbeda.
Dia sering menghadapi komentar yang menghina dari penggemar, memintanya untuk 'pulang dan memasak' daripada memimpin pertandingan.
Namun, tanggapan Presicce terhadap hinaan tersebut sangat kuat dan menginspirasi.
Dengan memilih untuk menutup telinganya tetapi tidak menutup hatinya, dia menunjukkan kekuatan dan semangat yang diperlukan untuk melawan prasangka dan mendorong lebih banyak perempuan untuk mengejar impian mereka dalam menghadapi kesulitan.
"Penghinaan sering kali ditujukan kepada saya," ujar Presicce sebagaimana dikutip SuperBall.id dari Dailystar.
"Mereka menyuruh saya pulang dan memasak, tapi saya tetap maju melawan prasangka seperti itu."
"Saya sudah menjadi wasit selama lima tahun."
"Di lapangan, saya mendengar semuanya dan banyak lagi, tapi saya tidak akan pernah menyerah."
"Itulah cara menantang penghinaan dan prasangka."
"Orang-orang sering bertanya kepada saya bagaimana saya bisa menoleransi hinaan dan banyak lagi."
"Dan saya katakan kepada mereka bahwa jika Anda memiliki hasrat terhadap olahraga ini, tutuplah telinga Anda, tetapi jangan hati Anda."
"Jika tidak (melakukan itu), Anda akan memikirkannya dan merasa tidak enak dengan kekejaman yang ada."
"Saya hanya memiliki kemarahan terhadap orang-orang ini, tapi sayangnya kita hidup di dunia label dan tanpa banyak rasa kemanusiaan."
Keterlibatan Presicce dalam acara-acara penting seperti Milano Fashion Week memberinya platform yang diperluas untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kritis, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Posisi uniknya sebagai model fesyen dan wasit sepak bola memungkinkannya menjangkau khalayak yang lebih luas, menantang label sosial, dan mempromosikan pesan ketahanan dan kesetaraan.
Kisahnya merupakan bukti kekuatan ketekunan dan dampak penggunaan suara seseorang untuk menginspirasi perubahan baik di arena tradisional maupun modern.
Ketika Presicce terus menentang ekspektasi dan mendobrak hambatan, perjalanannya menjadi pengingat yang menyedihkan akan tantangan yang dihadapi perempuan di bidang yang didominasi laki-laki.
Namun, hal ini juga menyoroti potensi transformatif dari semangat, tekad, dan kemauan untuk melawan diskriminasi dan kesenjangan.
Di dunia yang masih bergulat dengan label dan kurangnya rasa kemanusiaan, tokoh-tokoh seperti Presicce bersinar sebagai mercusuar harapan, membimbing jalan menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil.