Menurut pakar Ilmu Politik dari Yale University, Robert A Dahl, demokrasi sangat membutuhkan adanya keterbukaan, terutama akses bebas setiap warga negara terhadap berbagai sumber informasi.
Dengan adanya transparansi, akan terwujud peran aktif publik dalam hal kontrol lewat pemantauan dan penyampaian aspirasi serta kritik dalam proses penyelenggaraan sepak bola.
Tidak adanya transparansi membuat sepak bola rawan jatuh ke dalam jurang oligarki dengan berkuasanya kelompok elite kecil tertentu yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Terlebih, sepak bola dengan popularitasnya bisa begitu menggiurkan bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau golongan dengan mengorbankan orang banyak.
Robert Pielke Jr dalam Global Corruption Report: Sport yang dipublikasikan oleh Transparency International menggambarkan pentingnya transparansi dalam olahraga.
Dalam paparannya, Pielke menjelaskan olahraga telah menjadi bisnis dengan arus perputaran uang begitu besar yang memberi kesempatan dan dorongan untuk munculnya praktik-praktik koruptif.
Lebih lanjut, Pielke mendeskripsikan bahwa praktik koruptif yang dimaksud tidak hanya sebatas berbentuk proyek yang berhubungan langsung dengan pertandingan itu sendiri, namun juga dalam pengambilan keputusan dengan melibatkan sejumlah uang yang di Indonesia kita kenal sebagai tindakan suap-menyuap.
Dalam konteks Indonesia, wajibnya transparansi sepak bola terutama sehubungan dengan status PSSI sebagai badan publik.
Status tersebut ditetapkan melalui sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 8 Desember 2014 dengan mempertimbangkan fungsi dan tugas negara yang diemban PSSI di bidang persepakbolaan serta dana yang didapatnya melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) plus bantuan FIFA dan AFC.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan, setiap badan publik berkewajiban untuk menyediakan aksesnya terhadap informasi publik.
Editor | : | Aulli Reza Atmam |
Sumber | : | superball.id |
Komentar