Mengeluarkan budget yang besar untuk medis saya rasa bukanlah kerugian.
Kalau pengalaman saya melihat dan membandingkan peralatan medis tim negara Jepang, Korea, dan bahkan Eropa lainnya sudahlah sangat standar.
Kebetulan saya sendiri pernah mengikuti medicine football yg diselenggarakan oleh AFC/FIFA beberapa tahun lalu.
Beberapa tahun lalu sempat ada pelatihan tentang sports injury utk tim medis liga. Tapi Setelahnya kok tidak ada lagi. Ini yang harus kita pertanyakan lagi ke federasi. Kegiatan seperti itu sangatlah penting dan bermanfaat.
(Baca Juga: Pemecatan Pelatih Marak di Indonesia, Begini Sindiran Robert Rene Alberts)
Ilmu pengetahuan tentang sports injury mutlak ditambahkan dan diajarkan ke tenaga medis yg bertugas.
Terkadang yang bertugas sebagai tim medis bukanlah seorang dokter, kadang fisioterapi, masseur, dan tenaga paramedis.
Beberapa yang saya amati belum memenuhi standard medis. Ini yang harus federasi bantu utk pemenuhannya.
Mulai dari obat-obatan, alat emergency musculosceletal, emergency cardiorespiration, AED (defibrilator jantung), alat cek suhu udara dan kelembaban. Soal SDM perlu di upgrade ilmunya juga.
Terjadinya kolaps atau pun susah napas di lapangan memang harus diselesaikan manajemennya di dalam lapangan sampai atlet bisa napas spontan sehingga dibawa ambulans dalam keadaan stabil.
Memang ada beberapa perbedaan antara cervical injury (cedera leher) dengan head injury ataupun thoracal injury (dada)
Karena perbedaan itulah bisa mengakibatkan fatal, hal ini juga harus dikuasai tim medis.
Kalau Fernando Torres (Atletico Madrid), pemain dalam lapangan sudah paham apa yang harus dikerjakan sambil menunggu tim medis masuk lapangan.
Sementara kita belum tahu akan hal itu.
Editor | : | Aidina Fitra |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar