Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
SUPERBALL.ID - Sepak bola Indonesia saat ini tengah berduka menyusul tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022) malam WIB.
Insiden tersebut terjadi setelah pertandingan pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya.
Tragedi ini terjadi setelah ribuan suporter Arema FC turun ke lapangan usai tim kebanggaannya kalah 2-3.
Situasi yang tidak terkendali membuat aparat keamanan harus menembakkan gas air mata ke arah suporter.
Baca Juga: Bentuk Belasungkawa Tragedi Kanjuruhan, Liga Spanyol Lakukan Minute of Silence
Para suporter yang panik kemudian berlarian menuju pintu keluar stadion sehingga aksi desak-desakan tidak terelakkan.
Laporan terbaru dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malang menyebutkan sudah ada 182 nyawa yang hilang di tragedi Kanjuruhan.
Ada dua faktor utama yang diduga kuat menjadi penyebab banyaknya korban jiwa dalam tragedi memilukan ini.
1. PT LIB Tolak Perubahan Jadwal
Penyebab pertama adalah PT Liga Indonesia Baru (LIB) bersikeras laga Arema FC versus Persebaya digelar malam hari.
Padahal, pihak kepolisian sebelumnya telah menyarankan agar laga kedua tim tersebut digelar sore hari.
Pihak kepolisian meminta agar jadwal pertandingan dimajukan menjadi pukul 15.30 WIB demi keamanan.
Akan tetapi, PT LIB menolak saran tersebut dan tetap melaksanakan pertandingan pada pukul 20.00 WIB.
"Karena itu kita sudah mengajukan sore hari, sore hari itu prosedurnya adalah rekomendasi dari kepolisian kita sampaikan pada LIB," kata Media Officer Arema FC, Sudarmadji.
"Dan LIB seminggu yang lalu sudah menyampaikan surat balasan, bahwa jadwal yang diajukan oleh Arema atas rekomendasi dari Polres Malang itu ditolak dan disampaikan jadwal kembali ke jadwal semula," tambahnya.
2. Aparat Keamanan Tembak Gas Air Mata
Faktor kedua yang diduga kuat menyebabkan banyaknya korban tidak alain adalah keputusan aparat keamanan untuk menembakkan gas air mata.
Sebagai informasi, dalam aturan FIFA disebutkan bahwa gas air mata tidak boleh digunakan di dalam stadion.
Larangan FIFA tersebut tertuang pada Bab III pasal 19b tentang pengamanan pertandingan di pinggir lapangan.
Ada alasan khusus mengapa FIFA sampai melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion.
Jauh sebelum tragedi Kanjuruhan, penggunaan gas air mata di dalam stadion kerap menelan banyak korban.
Bahkan tiga tragedi kerusuhan terparah di sepak bola, termasuk Kanjuruhan, semuanya dipicu oleh gas air mata.
Kerusuhan terparah di dunia terjadi pada 24 Mei 1964 ketika Peru bersua Argentina di laga kualifikasi Olimpide Tokyo di Stadion Nasional, Lima.
Suporter tak bisa menghindari kerusuhan, mereka terinjak-injak dan sesak napas akibat semprotan gas air mata.
Polisi juga menembakkan gas air mata pada 9 Mei 2001 dalam kerusuhan di Accra, Ghana, yang menewaskan 126 orang.
"Penggunaan gas air ini menjadi salah satu penyebab korban jatuh lebih banyak. Padahal sudah tegas dilarang dalam statuta FIFA," kata pengamat kepolisian dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto.
"Ini akan jadi bahan kami ketika turun ke lapangan dan meminta penjelasan Polri yang menjalankan pengamanan. Mereka tahu atau tidak aturan FIFA yang melarang gas air mata itu," ucap Ketua Harian Kompolnas, Benny Mamoto.
Baca Juga: Presiden FIFA Terkait Tragedi Kanjuruhan: Dunia Sepak Bola Shock
Penggunaan gas air mata di dalam stadion itu juga dikecam keras oleh anggota DPR dan pengamat sepak bola.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni sangat menyayangkan penembakan gas air mata itu.
Dia mendesak Kapolri menindak tegas aparatnya yang menggunakan gas air mata.
Pengamat sepak bola Anton Sanjoyo juga dengan tegas mengecam gas air mata.
Menurutnya, sudah sangat tegas dalam aturan FIFA bahwa aparat keamanan dilarang membawa senjata tajam dan gas air mata ke stadion.
Seharusnya, imbuhnya, polisi sudah tahu aturan itu dari PSSI, PT LIB, atau panitia pelaksana pertandingan.