Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Menikmati Sepak Bola yang Lebih Demokratis lewat Piala Presiden

By Aulli Reza Atmam - Kamis, 15 Februari 2018 | 18:50 WIB
Trofi Piala Presiden (KOMPAS.COM)

Statusnya memang hanya sebagai ajang pramusim. Namun, Piala Presiden 2018 lebih dari sekadar turnamen. Ajang ini adalah kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menikmati sepak bola yang lebih demokratis.

Transparansi. Itulah yang dikampanyekan panitia Piala Presiden 2018 sebagai salah satu aspek yang dijunjung sangat tinggi dalam turnamen ini.

Sejak sebelum resmi digulirkan, telah dijanjikan bahwa Piala Presiden ini memang diharapkan untuk dihelat secara transparan dan terbuka.

Keseriusan panitia untuk menghelat Piala Presiden secara transparan tecermin dari visi dan misi yang diusung.

Transparansi menjadi salah satu dari enam visi-misi tersebut, bersanding dengan Fairplay, Prestasi dan Regenerasi, Hiburan Masyarakat, Industri, serta Penggerak Ekonomi Kerakyatan.

"Dari awal kami memang menginginkan perhelatan turnamen Piala Presiden 2018 kali ini transparan," ujar Ketua Steering Committee (SC) Piala Presiden 2018 Maruarar Sirait.

"Gelaran ini semoga bisa menggerakkan ekonomi kerakyatan. Harus ada data akurat yang bisa disampaikan ke publik," tambah pria tinggi tegap itu.

Sebagai wujud dari transparansi yang dijanjikan, panitia melakukan berbagai langkah untuk bersikap terbuka kepada publik.

Disampaikanlah informasi mengenai jumlah penonton, pendapatan tiket, bahkan hingga hal yang bisa dibilang selama ini bukanlah hal lazim di dunia persepakbolaan Indonesia, yaitu jumlah pedagang asongan dan kaki lima yang berada di area stadion, tempat digelarnya pertandingan.

(Baca Juga: Jokowi Akan Hadir di Laga Final Piala Presiden 2018)

Informasi berbagai aspek tersebut diumumkan saat pertandingan memasuki menit ke-75.

Setelah tuntasnya fase grup, pihak organizing committee (OC) juga merilis rekapitulasi data yang dihimpun dari setiap pertandingan.

Transparansi dan Sepak Bola yang Demokratis

"Sepak bola Indonesia milik rakyat Indonesia. Presiden Joko Widodo benar-benar mendorong dan mendukung sepak bola digariahkan, semua lapisan masyarakat harus berpartisipasi."

Demikian pesan yang disampaikan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Republik Indonesia Imam Nahrawi, yang dilansir oleh Kantor Berita Antara pada pertengahan Desember 2017.

Inti dari pesan Menpora itu jelas, tidak ada pihak yang memegang kekuasaan tunggal atas sepak bola.

Semua berhak menikmati olahraga terpopuler sejagat itu.

Ada benang merah antara ditekankannya transparansi di Piala Presiden dan apa yang disampaikan Menpora.

Sebagai milik rakyat, sepak bola perlu dijalankan secara demokratis dengan menjunjung prinsip "Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".

Meski bukan satu-satunya, transparansi yang secara sederhana berarti keterbukaan merupakan pilar penting dari demokrasi.

Menurut pakar Ilmu Politik dari Yale University, Robert A Dahl, demokrasi sangat membutuhkan adanya keterbukaan, terutama akses bebas setiap warga negara terhadap berbagai sumber informasi.

Dengan adanya transparansi, akan terwujud peran aktif publik dalam hal kontrol lewat pemantauan dan penyampaian aspirasi serta kritik dalam proses penyelenggaraan sepak bola.

Tidak adanya transparansi membuat sepak bola rawan jatuh ke dalam jurang oligarki dengan berkuasanya kelompok elite kecil tertentu yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Terlebih, sepak bola dengan popularitasnya bisa begitu menggiurkan bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau golongan dengan mengorbankan orang banyak.

Robert Pielke Jr dalam Global Corruption Report: Sport yang dipublikasikan oleh Transparency International menggambarkan pentingnya transparansi dalam olahraga.

Dalam paparannya, Pielke menjelaskan olahraga telah menjadi bisnis dengan arus perputaran uang begitu besar yang memberi kesempatan dan dorongan untuk munculnya praktik-praktik koruptif.

Lebih lanjut, Pielke mendeskripsikan bahwa praktik koruptif yang dimaksud tidak hanya sebatas berbentuk proyek yang berhubungan langsung dengan pertandingan itu sendiri, namun juga dalam pengambilan keputusan dengan melibatkan sejumlah uang yang di Indonesia kita kenal sebagai tindakan suap-menyuap.

Dalam konteks Indonesia, wajibnya transparansi sepak bola terutama sehubungan dengan status PSSI sebagai badan publik.

Status tersebut ditetapkan melalui sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 8 Desember 2014 dengan mempertimbangkan fungsi dan tugas negara yang diemban PSSI di bidang persepakbolaan serta dana yang didapatnya melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) plus bantuan FIFA dan AFC.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan, setiap badan publik berkewajiban untuk menyediakan aksesnya terhadap informasi publik.

Artinya, seluruh kegiatan sepak bola yang dibawahi oleh PSSI termasuk hal yang harus dijamin keterbukaannya.

Piala Presiden sendiri tidak menggunakan anggaran pemerintah, termasuk APBN dan APBD.

Namun, itu bukanlah alasan untuk tidak transparan karena panitia menyadari betul ada kepercayaan publik yang juga harus dijaga.

Transparansi sangat penting. Makanya, selalu kita jaga agar turnamen ini terus dipercaya oleh publik," tegas Maruarar Sirait.

Berkaca dari Skandal FIFA

Apa yang terjadi pada FIFA pada tahun 2015 telah membuktikan bagaimana tidak transparannya pengelolaan sepak bola bisa berdampak negatif sekaligus merugikan banyak orang.

Kala itu, sembilan petinggi FIFA ditangkap lewat penggerebekan di sebuah hotel di Zurich, Swiss.

Penggerebekan itu terjadi berkat kerja sama antara kepolisian lokal dan Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat terkait dengan tudingan korupsi, penyuapan, serta kejahatan ekonomi lain yang bersifat sistemik.

Setelah dilakukan penyelidikan oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat, para petinggi FIFA yang terseret kasus ini pun dijatuhi dakwaan keterlibatan dalam penyuapan untuk mendapatkan hak pemasaran dan hak siar pertandingan bernilai mencapai ratusan juta dolar AS.

Transparansi di tubuh FIFA menjadi sorotan banyak pihak setelah kasus yang menggemparkan itu.

Pasalnya, ada hak anggota-anggota FIFA yang terampas dalam uang yang masuk ke kantong pribadi para pejabat “nakal”.

Membangun kembali kepercayaan publik juga masuk ke dalam daftar pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

"Investigasi dan penangkapan tersebut memunculkan keraguan terhadap transparansi dan kejujuran dalam proses pengalokasian turnamen Piala Dunia, pemilihan presiden, serta administrasi dana, termasuk yang diperuntukkan dalam memperbaiki fasilitas sepak bola di beberapa anggota FIFA yang lebih miskin," tulis media ternama asal Inggris, BBC.

Acuan bagi Liga 1 

Kembali ke persepakbolaan Indonesia, dengan transparansinya maka pada akhirnya Piala Presiden pun menjadi kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menikmati sepak bola yang lebih demokratis.

Namun, menjelang musim kompetisi Liga 1 2018 yang sudah di depan mata, akankah kesempatan itu terus ada?

Harapannya, ya!

Piala Presiden 2018 harus menjadi acuan terbaik, best practice, bagi penyelenggaraan Liga 1 2018 dan kompetisi atau turnamen-turnamen lainnya.

Piala Presiden 2018 ini ternyata lebih dari sekadar turnamen pramusim.

Ingat, publik semakin cerdas dan kritis.

Para pencinta sepak bola kini tak cukup hanya disuguhi keseruan dan keindahan permainan di lapangan, tapi juga manajemen persepakbolaan yang transparan serta berorientasi industri dan prestasi.  

Pada akhirnya, sebagai cabang olahraga universal, sepak bola memang harus kembali ke jati dirinya yang demokratis, bermanfaat bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. 

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P